NEWS




TURANGGA YAKSA,

LAYAK JUALKAH ?

                   Turangga Yaksa, kesenian khas gaya Trenggalek. Lahir dan berkembang dijaman orde baru. Namun sudah monumental sekali dan bahkan sampai dapat merebut hati masyarakat Trenggalek dan sekitarnya. Layak jualkah kesenian tradisional yang berkembang dijaman modern?  Berikut laporan Jarot Setyono dari daerah asalnya, yaitu Kecamatan Dongko, kabupaten Trenggalek Jawa Timur.
                   Turangga Yaksa, demikian group jaranan yang kini marak berkembang diwilayah daerah kabupaten Trenggalek. Turangga artinya jaran / kuda. Yaksa artinya Buta atau raksasa. Dengan demikian dilihat dari bentuknya, Turangga Yaksa berarti jaran buta / Kuda Raksasa. Namun bukan berarti kuda yang mempunyai tubuh besar mirip raksasa. Turangga Yaksa merupakan kuda yang berkepala raksasa.
                   Dewasa ini kesenian Turangga Yaksa marak dipertontonkan.  Seperti layaknya kesenian jaranan yang lain. Turangga Yaksa mempunyai  tempat dihati masyarakat Trenggalek khususnya. Sebab memang kesenian Turangga Yaksa murni berasal dari Kabupaten Trenggalek. Tepatnya dari  dusun Blimbing  desa Dongko, kecamatan Dongko, kabupaten Trenggalek.
                   Diawali dari upacara adat Baritan yang diselenggarakan setiap bulan Syura
( Muharam ) dengan hari dan tanggal yang ditentukan oleh sang pawang ( sesepuh ). Upacara Baritan dilaksanakan dengan tujuan agar hewan peliharaan berupa sapi, kerbau dan hewan ternak yang lain serta sawah ladang mereka dapat terhindar dari  pagebluk (mala petaka). Menurut Mujiman yang kini menjabat sebagai penilik TK/SD keca. Dongko yang juga sekaligus sebagai salah satu dari sesepuh desa itu, Baritan merupakan kepanjangan dari Bubar ngerit tanduran atau selesai panen. Historisnya, Baritan merupakan upacara adat  sebagai ucapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dari para petani yang telah berhasil memanen hasil sawah dan ladangnya. Upacara itu dilaksanakan disawah usai panen. Baritan telah dilaksanakan turun temurun sejak jaman dahulu kala. Ketika tahun 1965, karena situasi politik yang tidak menentu saat itu, Baritan tidak diselenggarakan. Penduduk  dicengkam perasaan takut. Namun apa yang terjadi ? Pageblukpun ternyata menghampiri desa itu. Hingga membuat resah seluruh warga desa yang melebihi resahnya menghadapi situasi politik saat itu. Kemarau berlangsung sangat panjang. Banyak hewan ternak yang mati diserang penyakit atau mati kelaparan karena tiada rumput. Sawah ladang menjadi kering kerontang tak menghasilkan panen. Akhirnya seluruh warga kampung banyak yang kelaparan. Benar-benar saat itu merupakan jaman yang amat sulit bagi kami, Kenang Mujiman. Dalam keadaan yang gawat seperti itu, akhirnya para sesepuh mengambil inisiatif. Ada yang melakukan tapa brata. Ada yang berdo’a yang kesemuanya itu intinya nyuwun kepada yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana mengatasi pagebluk agar tidak berlangsung berkepanjangan. Anehnya hampir semua sesepuh kampung yang sedang melakukan tapa brata itu mendapat wisik yang sama, yaitu upacara Baritan harus kembali dilaksanakan. Namun baritan kali ini, harus diadakan di sawah atau ladang yang telah selesai dipanen. Diatas sawah ladang tersebut didirikan terob dengan ditandai dengan janur mlengkung seperti layaknya orang mempunyai hajat mantu. Kemudian mengumpulkan seluruh petani didesa itu dengan membawa Dadung/tali pengikat rajakaya, Lengkong (anyaman bambu berisi buceng), Gedang setangkep serta pulo Gimbal dan Pulo Gising. Setelah semuanya berkumpul, salah satu sesepuh menyampaikan maksud dan tujuannya mereka berkumpul disitu. Kemudian sesepuh yang lain memimpin do’a bersama yang isinya ucapan terima kasih karena sawah ladang mereka bisa panen, serta hewan ternak mereka kalis dari sambekala. Kemudian sesepuh yang dianggap paling mumpuni menghampiri dadung / tali pengikat rajakaya untuk diberi japa mantra sebelum dibawa pulang kembali oleh para petani. Setelah selesai, sesepuh tersebut berpesan kepada para petani, bahwa tali pengikat rajakaya yang telah diberi jampi-jampi tersebut harus disimpan diatas paga atau sebuah keranjang yang letaknya diatas tungku perapian. Jika rajakaya mereka sakit, tali yang disimpan diatas paga tadi boleh diambil lalu dibecem/dicelupkan diair beberapa saat dan airnya supaya diminumkan kepada hewan ternak mereka yang sakit. Insyaallah, hewan tersebut bisa sembuh seperti sedia kala. Dan kejadian ini telah pula disaksikan oleh orang tua-tua yang hidup didesa itu termasuk Mujiman yang waktu itu masih sebagai pemuda dikampung itu.
                   Kemudian setelah selesai prosesi upacara. Diadakan kembul bojana andrawina ( pesta pora ) dengan menanggap tayub.
                   Ide gagasan tercetusnya Turangga Yaksa menurut cerita Mujiman berasal dari Sutiyono. Ketika itu tahun 1972, Sutiyono ingin melestarikan prosesi ritual baritan yang begitu sakral dalam wujud sebuah kesenian tradisi yang akrab dihati masyarakat. Namun melambangkan maksud dan tujuan dari prosesi baritan itu sendiri. Belum lagi gagasan itu terwujud secara sempurna mendadak Sutiono meninggal. Kemudian gagasannya dilajutkan oleh Puguh. Akhirnya tercetuslah sebuah kesenian tradisional berupa tarian sejenis jaranan berkepala raksasa yang disebut turangga yaksa. Sebagai koreografernya penata gerak tariannya waktu itu adalah sdr. Pamrih. Sedangkan penata gendingnya diserahkan kepada sdr. Muan. Sementara itu Puguh sendiri menyusun jalan ceritanya. Bertiga mereka berjuang keras untuk membuat sebuah karya seni yang mempunyai tata gerak yang amat enerjik. Ternyata kerja keras mereka membuahkan hasil yang kala itu menurut sdr. Pamrih  tahun 1982 Turangga Yaksa digelar dalam sebuah pergelaran ala kampung untuk melengkapi ritual baritan yang pertama kali.
                   Walaupun dalam gerak estetiknya masih diilhami dari kesenian tradisional jaranan, namun turangga Yaksa mempunyai tata gerak yang lain dibandingkan dengan jaranan sentherewe maupun jaranan Breng.
                   Dalam perjalanannya yang masih sangat muda usianya ( kurang lebih 22 th ) TuranggaYaksa telah menjadi kesenian tradisional khas Trenggalek yang patut dibanggakan. Namun seperti layaknya kesenian tradisional yang lain, group-group kesenian ini masih kelabakan soal pendanaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan Group Turonggo Yaksa Purwa Budaya, yang mana Muan dan Pamrih yang boleh dikatakan orang yang membidani terlahirnya karya monemuntal ini.
                   Di kecamatan Dongko sendiri, menurut Sukamto mantan kasi kebudayaan kabupaten Trenggalek menyimpan 15 group kesenian khusus Turangga Yaksa termasuk Turangga Yaksa Purwa Budaya. Sementara itu diseluruh kabupaten, kurang lebih ada 250-an yang nasibnya hampir sama dengan Turangga Purwa Budaya.  Walaupun dalam APBD anggaran pembinaan kesenian sudah mencapai angka 1 milyard, namun itu untuk seluruh kesenian yang berkembang di Trenggalek.  Sebagai orang yang asli Trenggalek, kami mempunyai gagasan bagaimana agar Turangga Yaksa bisa eksis. Karena itu merupakan asset daerah yang sangat dibanggakan masyarakat Trenggalek, demikian penuturan mendiang almarhum Drs. Sugiyanto waktu itu, dari fraksi partai Golkar yang memang sangat getol memperjuangkan seni tradisi yang berkembang di Trenggalek.